BAHASA
DAN MASYARAKAT (KAJIAAN SOSIOLINGUISTIK)
Sosiolinguistik mengkaji hubungan bahasa dan masyarakat,
yang nengaitkan dua bidang yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu struktur
formal bahasa oleh linguistik dan struktur masyarakat oleh sosiologi. Istilah
sosiolinguistik itu sendiri baru muncul pada tahun 1952 dalam Kaya Haver C
Currie) yang menyatakan perlu adanya kajian mengenai hubungan antara perilaku
ujaran dengan status sosial. Disiplin ini mulai berkembang pada akhir tahun
60-an yang diujungtombaki oleh Committee on Sociolinguistics of the Social
Science Research Council (1964) dan Research Committee on Sociolinguistics of
the International Sociology Association (1967). Jurnal sosiolinguistik
baru terbit pada awal tahun 70-an, yakni Language in Society (1972) dan
International Journal of Sociology of Language (1974). Dari kenyataan itu
dapat dimengerti bahwa sosiolinguistik merupakan bidang yang relatif baru.
Pemilihan bahasa dalam masyarakat
multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk dikaji dari perspektif
sosiolingistik. Bahkan Fasold mengemukakan bahwa sosiolionguistik dapat menjadi
bidang studi karena adanya pemilihan bahasa. Fasold memberikan ilustrasi dengan
istilah societal multilingualism yang mengacu pada kenyataan adanya
banyak bahasa dalam masyarakat. Tidaklah ada bahasan tentang diglosia
apabila tidak ada variasi tinggi dan rendah. Pada kenyataannya setiap bab dari
buku sosiolinguistik karya Fasold (1984) memusatkan pada paparan tentang
kemungkinan adanya pemilihan bahasa yang dilakukan masyarakat terhadap
penggunaan variasi bahasa. Statistik sekalipun menurut Fasold tidak akan
diperlukan dalam sosiolinguistik apabila tidak ada variasi penggunaan bahasa
dan pemilihan di antara variasi-variasi tersebut.
1.
MASYARAKAT
TUTUR
Menurut Wijaya dan Muhammad masyarakat
tutur ialah sekelompok orang dalam lingkup luas atau sempit yang berinteraksi
dengan bhasa tertentu yang dpat dibedakan dengan kelompok masyarakat tutur lain
atas dasar perbedaan bahasa yang bersifat signifikan. Chaer dan Agustina
mendefinisikan masyarakat tutur sebagai suatu kelompok orang atau masyarakat
memiliki verbal repetoir yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian
yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam
masyarakat itu. Fishman dalam Chaer dan Agustina mengatakan masyarakat tutur
adalah suatu masyarakat yang anggota-anggitanya setidak-tidaknya mengenal satu
variasi bahasa dan norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya.
Masyarakat tutur menurut
Kridalaksana ialah kelompok orang yang merasa memiliki bahasa bersama atau yang
merasa termasuk dalam kelompok itu, atau yang berpegang pada bahasa standart
yang sama. Gumperz dalam Sumarsono mengatakan bahwa masyarakat tutur ialah
sekelompok menusia yang memiliki karakteristik khas karena melakukan interaksi
yang teratur dan berkali-kali dengan tanda-tanda verbal yang sama, dan berbeda
dari kelompok lain karena adanya perbedaan yang signifikan dalam penggunaan
bahasa.
Berdasarkan pendapat para ahli bahasa
dan sosiolinguistik diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat tutur ialah
sekelompk orang atau individu yang memiliki kesamaan atau menggunakan sistem
kebahasaan yang sama berdasarkan norma-norma kebahasaan yang sesuai.
William Labov dalam Sumarsono)
mengatakan bahwa masyarakat tutur tidaklah ditentukan oleh kesepakatan yang
jelas dalam penggunaan unsur-unsur bahasa, melainkan lebih banyak oleh
partisipasi penutur dalam seperangkat norma bersama ; norma ini bias diamati
pada perilaku evaluatif yang terbuka, dan dari keseragaman pola-pola variasai
yang basatrak yang tetap sehubungan dengan tingkat penggunaan tertentu.
Dalam masyarakat yang sesungguhnya,
anggota-anggotanya memungkinkan memiliki ciri fisik yang berupa organ bicara
(organ of speech) yang berbeda-neda yang pada gilirannya nantu menghasilkan
idiolek yang berbeda. Dalam masyarakat itu anggota-anggotanya dimungkinkan pula
memiliki kepribadian yang berbeda yang nantinya menimbulkan wujud dan cara bahasa
yang berlainan. Sementara itu, asal kedaerahan yang berbeda akan melahirkan
bermacam-macam variasi regional yang lazim disebut dialek. Dan akhirnya, status
sosial ekonomi anggota masyarakat yang berbeda-beda akan mewujudkan sosiolek
yang berbeda.
Faktor-faktor sosial dan individual
yang lain, seperti umur, jenis kelamin, tingkat keakraban, latar belakang
keagamaan, dan sebagainya tentu menambah komplek wujud bahasa yang terdapat
dalam sebuah masyarakat tutur, sehingga tidak mustahil bahwa dalam sebuah masyarakat
tutur terdapat sejumlah masyarakat tutur lain dalam skope yang lebih kecil.
Anggota-anggota sebuah masyarakat
tutur tidak hanya dicikan oleh bentuk bahasa yang digunakannya, tetapi juga
ditentukan oleh pandangan atau persepsi mereka terhadap bentuk bahasa yang
digunakan oleh mereka dan bentuk bahasa yang digunakan oleh anggota masyarakat
yang lain. Misalnya, masyarakat tutur bahasa Jawa dialek Solo-Yogyakarta
memiliki persepsi bahwa varian bahasa yang digunakannya memiliki prestise yang
lebih tinggi dibandingkan dengan varian dialektal yang lain seperti bahasa Jawa
dialek Jawa Timur.
Ciri khas bahasa seseorang disebut
idiolek, sedangkan kumpulan idiolek dalam sebuah bahasa disebut dialek. Variasi
yang digunakan oleh orang-orang yang berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi
dialek social atau sosiolek.
Fishman dan Gumperz dalam Chaer dan
Agustina mengatakan bahwa masayarakat modern mempunyai kecenderungan masyarakat
tutur yang lebih terbuka dan cenderung menggunakan barbagai variasi dalam
bahasa yang sama, sedangkan masyarakat tradisional bersifat lebih tertutup dan
cenderung menggunakan variasi dan beberapa bahasa yang berlainan.
Dalam sebuah masyarakat tutur, terdiri
atas dua jenis pnutur menurut Wijaya dan Muhammad yakni :
- Penutur berkompeten (Fully Fledge
Speaker)
Penutur berkompeten ialah penutur yang benar-benar mampu
menggunakan bahasa dalam berbagai pengetahuan tentang kosa kata dan struktur
bahasa yang bersangkutan, tetapi juga mempunyai kemampuan untuk
mengkomunikasikannya secara pragmatis. Seorang penutur yang berkompeten harus
memiliki empat pengetahuan yakni : (1) pengetahuan mengenai gramatikan dan kosa
kata suatu bahasa, (2) pengetahuan mengenai kaidah-kaiah berbahasa (ules of
speaking), misalnya, pengetahuan bagaimana memulai sebuah pembicaraan, (3)
pengetahuan tentang bagaimana menggunakan dan merespon tipe-tipe tindak tutur
yang berbeda-beda, sepertyi perintah, permohonan atau ucapan terima kasih, (4)
penegetahuan tentang bagaimana berbicara secara wajar.
- Penutur Partisipatif ( Unfully
Fledge Speaker)
Penutur partisipatif ialah penutur yang tidak atau
menguasai bahasa dalam berbagai tindak tutur atau komunkasi. Seorang penutur
partipatif biasanya ialah seorang pendatang dalam sebuah masyarakat tutur dan
ia mengalami sebuah culture shock atau gegar budaya. Wijaya dan Muhammad.
memberikan contoh sebagai berikut :
Seorang penutur asli bahasa bali pindah ke
“ Sesuk aku arep tungguk manuk.”
Secara harfiah kalimat tersebut berarti
“Bsok saya akan menunggu burung.”
Orang bali tersebut tidak memahami makna sebenarnya
kalimat tersebut sebab ia hanya memahami kalimatnya secara harfiah, padahal,
kalimat tersebut bermakna
“Besok saya akan menghalau burung.”
Perbedaan penafsiran kaliamt ini karena penutur dan
lawan tutur memuliki perbedayaan budaya. Didalam sebuah masyarakat tutur
terdapat individu-individu yang melakukan tuturan. Individu-individu tersebut
melaksanakan komunikasi antarindividu yang terjadi melalui dua tindakan yakni
peristiwa tutur dan tindak tutur.
2.
VERBAL
REPERTOIRE
Verbal repertoire ialah semua bahasa
beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur.
Berdasarkan luas dan sempitnya verbal repertoil sebuah masyarakat tutur dibagi menjadi
dua, yaitu :
a.
Masyarakat
tutur yang repertoire pemakaiannya lebih luas, dan menunjukan verbal repertoire
setiap penutur lebih luas pula.
b.
Masyarakat
tutur yang sebagaian anggotanya mempunyai pengalaman sehari-hari dan aspirasi
hidup yang sama, dan menunjukkan pemilikan wilayah linguistic yang lebih
sempit, termasuk juga perbedaan variasinya.
Dalam sosiolinguistik Dell Hymes tidak membedakan secara
eksplisit antara bahasa sebagai sistem dan tutur sebagai keterampilan. Keduanya
disebut sebagai kemampuan komunikatif (communicative competence). Kemampuan
komunikatif meliputi kemampuan bahasa yang dimiliki oleh penutur beserta
keterampilan mengungkapkan bahasa tersebut sesuai dengan. fungsi dan situasi
serta norma pemakaian dalam konteks sosialnya.
Sedangkan Berdasarkan verbal repertoire yang dimiliki
oleh masyarakat, masyarakat bahasa dibedakan menjadi tiga, yaitu
a.
Masyarakat
monolingual (satu bahasa)
b.
masyarakat
bilingual (dua bahasa)
c.
masyarakat
multilingual.(lebih dari 2 bahasa)
Kemampuan komunikatif yang dimiliki individu maupun
kelompok disebut verbal repertoire. Jadi verbal repertoire dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu verbal repertoire yang dimiliki individu dan yang dimiliki
masyarakat. Jika suatu masyarakat memiliki verbal repertoire yang relatif sama
dan memiliki penilaian yang sama terhadap pemakaian bahasa yang digunakan dalam
masyarakat disebut masyarakat bahasa.
3.
MASYARAKAT,
BAHASA DAN HUBUNGANNYA
Bahasa dan masyarakat, bahasa dan
kemasyarakatan, dua hal yang bertemu di satu titik, artinya antara bahasa dan
masyarakat tidak akan pernah terpisahkan. Bahasa sebagai sistem lambang bunyi
yang arbitrer, digunakan oleh anggota masayarakat sebagai alat komunikasi,
berinteraksi dan mengidentifikasikan diri. Bahasa begitu melekat erat, menyatu
jiwa di setiap penutur di dalam masyarakat. Ia laksana sebuah senjata ampuh
untuk mempengaruhi keadaan masyarakat dan kemasyarakatan. Fungsi bahasa sebagai
alat untuk berinteraksi atau berkomunikasi dalam arti alat untuk menyampaikan
pikiran, gagasan, konsep atau juga perasaan di dalam masyarakat inilah di
namakan fungsi bahasa secara tradisional. Maka dapat di katakan hubungan antara
bahasa dan penggunanya di dalam masyarakat ini merupakan kajian
sosiolinguistik.
Berbicara tentang bahasa dan
masyarakat, maka tidak terlepas dari istilah “ masyarakat bahasa”. Masyarakat
bahasa adalah sekelompok orang yang memiliki bahasa bersama atau merasa
termasuk dalam kelompok itu, atau berpegang pada bahasa standar yang sama.
Masyarakat tutur adalah istilah netral. Ia dapat dipergunakan untuk menyebut
masyarakat kecil atau sekelompok orang yang menggunakan bentuk bahasa yang
relatif sama dan mempunyai penilaian yang sama dalam bahasanya. Jadi masyarakat
bahasa atau masyarakat tutur
Berbicara tentang bahasa dan
masyarakat tentu tidak terlepas dengan kebudayaan yang ada pada suatu
masyarakat, maka titik tolaknya adalah hubungan bahasa dengan kebudayaan dari
masyarakat yang memiliki variasi tingkat- tingkat sosial. Ada yang menganggap
bahasa itu adalah bagian dari masyarakat, namun ada yang menganggap bahasa dan
kebudayaan itu dua hal yang berbeda, tetapi hubungan antara keduanya erat,
sehingga tidak dapat dipisahkan, yang menganggap bahasa banyak dipengaruhi oleh
kebudayaan, sehinnga apa yang ada dalam kebudayaan akan tercermin dalam bahasa.Di
sisi lain ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat mempengaruhi kebudayaan
dan cara berpikir manusia, atau masyarakat penuturnya.
Bagaimanakah bentuk hubungan antara
bahasa dengan masyarakat? Bentuk hubungan bahasa dengan masyarakat adalah adanya
hubungan antara bentuk-bentuk bahasa tertentu, yang disebut variasi ragam atau
dialek dengan penggunaannya untuk fungsi-fungsi tertentu didalam
masyarakat.Sebagai contoh di dalam kegiatan pendidikan kita menggunakan ragam
baku, untuk kegiatan yang sifatnya santai ( non formal ) kita menggunakan
bahasa yang tidak baku, di dalam kegiatan berkarya seni kita menggunakan ragam
sastra dan sebagainya. Inilah yang disebut dengan menggunakan bahasa yang
benar, yaitu penggunaan bahasa pada situasi yang tepat atau sesuai konteks di
mana kita menggunakan bahasa itu untuk aktivitas komunikasi.
4.
BAHASA DAN
TINGKAT SOSIAL MASYARAKAT
Masyarakat merupakan keadaan yang
beragam, termasuk tingkatan sosial didalamnya. Berdasarkan hal tersebut maka
terdapat hubungan antara bahasa dengan tingkatan sosial yang ada didalam
masyarakat.Tingkatan sosial di dalam masyarakat ini dapat ditinjau dari dua
segi. Pertama, dari segi kebangsawanan; dan yang kedua dari segi kadudukan
sosial yang berupa tingkatan pendidikan dan keadaan sosial ekonomi yang
dimiliki. Biasanya orang yang mamiliki taraf pendidikan tinggi maka keadaan
perekonomian juga tinggi, namun hal ini tidaklah mutlak.Bisa saja orang yang
memiliki taraf pendidikan yang baik, namun taraf perekonomianya kurang baik. Di
sisi lain orang yang tidak memiliki taraf pendidikan yang baik, namun memiliki
keadaan sosial ekonomi yang baik.
Kebangsawanan dan bahasa, bagaimanakah
bentuk hubunganya? Untuk dapat melihat hubunganya, kita ambil contoh masyarakat
tutur bahasa Jawa. Di lihat dari segi kebangsawanan, masyarakat Jawa di bagi
menjadi beberapa tingkat, antara lain wong cilik, wong saudagar, priyayi dan
ndara (menurut pendapat Kuntjaraningrat). Dari penggolongan itu jelas adanya
pebedaan tingkat dalam masayarakat tutur bahasa jawa. Dasarkan penggolongan,
maka di dalam masyarakat jawa memiliki berbagai variasi bahasa yang di gunakan
sesuai dengan tingkat sosialnya. Ragam bahasa yang di gunakan oleh kalangan
wong cilik berbeda dengan ragam bahasa yang di gunakan oleh para priayi.
Tingkat sosial yang berbeda juga menyebabkan perbedaan variasi yang berbeda.
Sebagi contoh apabila wong cilik berbicara dengan priyayi atau ndara atau
petani yang tidak berpendidikan berbicara dengan ndara yang berpendidikan, maka
masing – masing menggunakan variasi bahasa jawa yang berlainan. Pihak yang
tingkat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi
yaitu krama, dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan tingkat bahasa
yang lebih rendah, yaitu ngoko. Variasi bahasa seperti ini di dalam bahasa jawa
disebut undak usuk. Penggunakan tingkatan bahasa yang disebut undak usuk ini
mempertimbangkan kedudukan tingkat sosial yang dimiliki. Adanya tingkat –
tingkat bahasa ini menyebabkan penutur dari masyarakat jawa tersebut untuk
mengetahui lebih dulu kedudukan sosialnya terhadap lawan bicaranya.
Berkaitan dengan adanya undak usuk ini
bahasa jawa terbagi menjadi dua, yaitu krama untuk tingkat tinggi dan ngoko
untuk tingkat rendah.namun diantara keduanya masih terdapat adayan tingkat –
tingkat anatara. Seorang pakat bahasa jawa bernama Uhlenbeck membagi tingkat
variasi bahasa jawa menjadi tiga, yaitu krama, madya,dan ngoko.selanjutnya,
masing – masing di bagi lagi menjadi muda krama, kramantara, dan wreda krama,
madyangngko, madyantara, dan madyakrama; ngoko sopan dan ngoko andhap.Cliffort
Geertz, membagi menjadi dua bagian pokok, yaitu krama dan ngoko. Krama
diperinci menjadi krama inggil, krama biasa dan krama madya. Sedangkan ngoko
diperinci menjadi ngoko madya, ngoko biasa dan ngoko sae.
Dalam masyarakay